Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber

Kebakaran yang terjadi di TPA Suwung pada tahun 2019 silam merupakan bukti nyata bahwa penumpukan sampah yang berlebihan dapat berakibat fatal pada lingkungan sekitar.
Kebakaran dapat terjadi kapan saja ketika dipicu suhu tinggi di TPA. Gas metana yang dihasilkan tumpukan sampah dapat mencemari udara. Cairan lindi (leachate)pun berpotensi mencemari air tanah.
Potensi kebakaran TPA dapat dikurangi dengan menyiram tumpukan sampah dengan air. Namun bagaiamana dengan kemunculan lalat dan bau yang semakin menyengat seiring pertambahan tumpukan sampah? Peningkatan produksi sampah tak bisa dihindari karena sejalan dengan pertambahan populasi penduduk. Maka dari itu, pengelolaan sampah menjadi PR besar bagi komunitas, masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi dampak buruk tumpukan sampah.
Pemerintah Provinsi Bali cukup produktif dalam menghasilkan aturan berkaitan dengan pengelolaan sampah. Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 dan Instruksi Gubernur Nomor 8324 Tahun 2021 merupakan tindak lanjut dari Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Peraturan tersebut mengerucutkan strategi pengelolaan sampah menurut Kebijakan dan Strategi Daerah dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dalam Pergub no. 95 tahun 2018. Usaha pengurangan sampah juga diatur dalam Pergub no. 97 tahun 2019 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Perlindungan lingkungan dengan cara mengurangi potensi pembuangan sampah liar juga ditegaskan melalui Pergub no. 24 tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut.
Benang merah dari regulasi-regulasi tersebut adalah peran masyarakat untuk menjaga kelestarian alam Bali dan meningkatkan kebersihan lingkungan pemukiman dengan memulai pengelolaan sampah berbasis sumber. Pada dasarnya pengelolaan sampah berbasis sumber merupakan sistem pengelolaan sampah yang dilakukan dekat dari sumbernya. Yang mana secara umum penghasil sampah terbanyak adalah lingkungan rumah tangga, baik di perdesaan maupun perkotaan.

Aturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dipraktikkan oleh warga Bali untuk membatasi produksi sampah, yaitu mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mencegah pembuangan sampah sembarangan, terutama di sumber air dan daerah aliran sungai. Bahkan Bapak Gubernur dan Ibu Gubernur lantang menyerukan semangat untuk mewujudkan “Desaku bersih tanpa mengotori desa lain.”
Membedakan Sampah dengan Material
Pengelolaan sampah berbasis sumber dimulai dengan melakukan pemisaahan sampah di rumah tangga warga. Yayasan Bumi Sasmaya sebagai pencetus program Merah Putih Hijau mengusung slogan “Separation is the key”, bahwa pemisahan sampah adalah kunci dari pengelolaan sampah yang baik dan benar. Pemisahan sampah yang paling sederhana dibagi menjadi tiga, yaitu material yang mudah terurai, material sulit terurai dan sampah residu.
Jika sudah mampu memisahkan sampah, maka warga akan menyadari bahwa sebagian sisa konsumsi rumah tangga bukanlah sampah tapi berupa material yang dapat didayagunakan kembali. Sebagian besar sisa konsumsi rumah tangga merupakan bahan-bahan daur ulang yang bernilai ekonomis. Material yang mudah terurai atau sampah organik dapat diolah menjadi kompos. Sedangkan material yang sulit terurai atau anorganik dapat dibawa ke Bank Sampah. Hanya sedikit residu yang akan dibuang ke TPA.

MPH hadir untuk meningkatkan kesadaran warga dan menggerakan desa untuk bersama-sama mejalankan pengelolaan material berbasis sumber. Tujuannya adalah untuk meningkatkan perekonomian di desa sekaligus mengurangi tumpukan sampah di TPA. Salah satu desa binaan dalam program MPH ialah Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Di awal 2021, Gubernur Wayan Koster menilai Desa Taro sebagai salah satu desa yang telah berhasil mengelola sampah di desanya sendiri. Keberhasilan Desa Taro telah menjadi contoh perwujudan Pergub Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Penulis : Anisa Dea Novianti