Mencari Akar dan Solusi Masalah Sampah

Timbunan sampah di Bali sudah tidak terkontrol, program Merah Putih Hijau adalah solusi yang tepat sesuai dengan Peraturan Gubernur No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Berdasarkan data timbunan sampah di tahun 2019, setiap tahunnya, sampah yang dihasilkan masyarakat Bali secara keseluruhan adalah 1,6 juta ton.[1] Per harinya, masyarakat Bali menghasilkan sampah sebanyak 4.281 ton. Hanya 164 ton atau 3,83% sampah berhasil didaur-ulang dan sisanya (96,17%) dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dibakar, dibuang ke lingkungan, dan dibuang ke saluran air.
Buruknya pengelolaan sampah menyebabkan banyak sampah terbuang begitu saja ke TPA maupun lingkungan sekitar. Akibatnya, lingkungan menjadi tercemar dan sampah yang berakhir di TPA jadi melebihi kapasitas. Hal inilah yang mendorong Gubernur Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Semestinya, sebagian besar material atau sebanyak 70-90% dari total sampah dapat didaur-ulang. Hal ini dikarenakan komposisi timbunan sampah secara umum terdiri atas 56% material organik, 34% material anorganik, dan hanya 10% merupakan residu.[2] Jika tercampur menjadi satu, tiga jenis material ini akan benar-benar menjadi sampah. Namun, apabila terpilah sesuai dengan jenisnya, maka material yang sering dianggap sampah justru dapat dipandang bukan sebagai sampah.
Organik, Anorganik, dan Residu.

Buruknya pengelolaan sampah sesungguhnya berakar dari masyarakat yang masih sulit untuk mengidentifikasi jenis-jenis material. Kesulitan ini kemudian berdampak terhadap keengganan, bahkan ketidakmampuan, untuk memisahkan sampah sesuai jenisnya. Hal ini lalu didukung dengan lemahnya pengelolaan sampah di tingkat desa. Akibatnya, material yang masih bernilai malah berakhir sebagai sampah dan bahkan terbuang di tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Maka dari itu, hal dasar yang pertama-tama perlu untuk dipahami masyarakat adalah jenis-jenis material. Secara sederhana, material dibagi menjadi tiga kategori utama, yakni organik, anorganik, dan residu.
Material organik merupakan jenis material yang berasal dari alam atau dihasilkan oleh makhluk hidup, sehingga dapat terurai dengan mudah di alam. Material-material yang tergolong organik contohnya sisa-sisa makanan, dedaunan, ranting pohon, bunga, rerumputan, kotoran hewan, dan sejenisnya. Walaupun begitu, di Bali juga terdapat jenis material organik yang sulit terurai yakni busung Sulawesi atau janur putih yang tercampur dengan bahan kimia. Kandungan bahan kimia yang terdapat pada janur tersebut menyebabkan janur tersebut lebih awet.
Selanjutnya, material anorganik adalah material yang yang sulit terurai sebab ia dihasilkan dari campur tangan manusia. Meskipun begitu, material anorganik masih dapat dipakai kembali dan didaur-ulang. Contoh material yang tergolong anorganik adalah berbagai produk kertas, kardus, plastik, kaca, logam, dan pakaian layak pakai.
Terakhir, residu adalah kategori yang bukan termasuk material organik dan anorganik. Sesungguhnya, kategori inilah yang disebut sebagai sampah. Residu merupakan sampah yang tidak dapat digunakan kembali dan sangat sulit didaur ulang. Residu juga sering disebut sebagai sisa hasil pengolahan material organik ataupun anorganik. Adapun beberapa contoh material yang tergolong residu yakni masker sekali pakai, tisu, styrofoam, popok bayi, pembalut, kertas nasi, kertas minyak, dan pakaian yang tidak layak pakai.
Awamnya pengetahuan masyarakat tentang tiga kategori material tersebut kemudian berdampak pada pengelolaan material yang minim. Padahal, jika diolah dengan baik dan benar, material organik dan anorganik dapat dicegah untuk berakhir menjadi sampah. Dengan metode yang sederhana, material organik dapat diolah kembali menjadi kompos yang begitu kaya nutrisi untuk kesuburan tanah. Pengomposan ini sesungguhnya merupakan hal yang dapat dilakukan dengan mudah sebab sebagian besar sampah di Indonesia termasuk Bali berasal dari material organik. Selain kompos, material organik juga dapat diolah menjadi briket dan bio gas.
Sedangkan, material anorganik yang sudah tidak dapat digunakan kembali dapat didaur-ulang. Fasilitas daur-ulang biasanya tidak terdapat dalam skala rumah tangga sehingga hal yang bisa dilakukan adalah menjual material anorganik ke bank sampah atau pengepul. Mereka kemudian mengelola material anorganik lebih lanjut dengan cara menjualnya ke fasilitas pendaur ulang. Dengan begitu, material anorganik dapat diproses lebih lanjut dan menghasilkan barang-barang yang dapat digunakan kembali.
Pada akhirnya, hanya residulah yang sesungguhnya berakhir di TPA. Pasalnya, TPA sesungguhnya didesain sebagai tempat penampung residu, bukan material organik atau anorganik. Namun, kenyataannya, TPA menampung lebih banyak sampah dari yang seharusnya, ketika sampah tersebut dapat dicegah keberadaannya jika pemisahan dilakukan dengan baik.
Pemisahan adalah Kunci!

Jika jenis-jenis material sudah berhasil dipahami, maka langkah selanjutnya yang begitu penting adalah memahami dan melakukan pemisahan material-material tersebut. Pemisahan sampah di sumbernya, entah itu di rumah, kantor, restoran, dsb, adalah kunci untuk memaksimalkan daur-ulang material organik dan anorganik. Hal ini tentu akan berdampak pada minimnya material yang sampai di TPA, sebab hanya residu saja yang berakhir di sana.
Pemisahan sampah dapat dilakukan pertama-tama dengan menyediakan tempat penampungan material yang terpisah di rumah. Pisahkan sampah organik dengan non-organik, serta residu. Dengan begitu, masing-masing material dapat diolah kembali dan hanya residu yang dikirim ke TPA.
Beberapa rumah tangga, instansi, dan pelaku bisnis telah menerapkan pemisahan di sumber, tetapi permasalahan selanjutnya adalah minimnya fasilitas pengelolaan sampah tingkat desa yang juga menerapkan metode pemisahan yang sama. Hal ini pula yang menyebabkan enggannya masyarakat memisahkan materialnya di sumber, sebab mereka memahami bahwa ketika diangkut, material-material tersebut juga tetap akan bercampur kembali dan seluruhnya dibawa ke TPA.
Hal ini menunjukkan pengelolaan sampah pada akhirnya tidak dapat diserahkan hanya kepada masyarakat atau pemerintah saja. Menciptakan solusi yang berkelanjutan memerlukan intervensi kebijakan yang diimplementasikan dengan serius dan memperoleh dukungan penuh dari seluruh pemangku kebijakan (stakeholders) yang ada di desa. Akan sangat sulit mewujudkan solusi yang berkelanjutan hanya dengan dukungan dari salah satu pihak saja.
Merah Putih Hijau, Kolaborasi untuk Solusi
Memahami pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak dalam membangun solusi terkait permasalahan sampah, Merah Putih Hijau (MPH) hadir untuk masyarakat. MPH membangun gerakan di masyarakat untuk memotivasi masyarakat lainnya di desa sehingga mereka dapat mengambil alih pengelolaan material dan sampah dengan fasilitas sederhana yang mereka miliki.
MPH menyadari bahwa desentralisasi pengelolaan sampah begitu penting untuk dilakukan. MPH melakukannya dengan cara membuat persetujuan dengan komunitas dan membangun fasilitas yang secara efektif dapat mendorong masyarakat untuk menerapkan pemisahan material. Selain melakukan edukasi masyarakat, MPH juga membangun fasilitas yang dikelola dan dimiliki oleh masyarakat, sebab merekalah yang bertanggung jawab atas sampah yang mereka sendiri hasilkan. Dengan begitu, sampah tak lagi menjadi masalah, justru ia malah mendatangkan berkah.
Siapa MPH dan bagaimana cara MPH serta masyarakat mengubah sampah menjadi berkah? Nantikan di tulisan selanjutnya!
Penulis: Tatik Rismayanti dan Oktaria Asmarani
[1] Rilis riset Bali Partnership pada 2019, https://www.systemiq.earth/bali-governor/
[2] Diakses di http://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/